Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian materi Undang-Undang Hak Cipta yang diajukan oleh sejumlah musisi ternama, termasuk Ariel NOAH dan Armand Maulana, Senin (30/6/2025). Diketahui, gugatan itu dilayangkan karena mereka mempersoalkan sejumlah pasal yang dinilai berpotensi mempidanakan pelaku pertunjukan musik, meskipun telah membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Sidang yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Senin (30/6/2025), menghadirkan keterangan dari DPR dan Presiden yang diwakili oleh Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, Razilu. Dalam sidang, Razilu menegaskan bahwa Undang-Undang Hak Cipta menganut prinsip ultimum remedium, artinya, sanksi pidana seharusnya menjadi upaya terakhir jika penyelesaian melalui jalur perdata atau mediasi tidak berhasil.
“Pidana adalah jalan terakhir, bukan langkah pertama. Penyelesaian utama harusnya melalui arbitrase, pengadilan niaga, atau mediasi resmi seperti di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),” kata Razilu di hadapan para hakim konstitusi.
Pasal 95 ayat (4) UU Hak Cipta diyakini juga mengatur bahwa tuntutan pidana baru dapat diajukan jika mediasi gagal, dengan syarat para pihak diketahui keberadaannya di wilayah Indonesia. Namun, Razilu menyayangkan masih banyak masyarakat yang menyamakan somasi dengan mediasi, padahal keduanya berbeda. Hasil mediasi pun wajib dituangkan secara resmi untuk menjadi dasar hukum jika kasus dilanjutkan secara pidana.Pemerintah menyebut Pasal 113 UU Hak Cipta sebagai bentuk open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. Pasal ini memberikan dasar hukum untuk mempidanakan pelanggaran hak cipta yang dilakukan secara komersial. Namun, untuk pelanggaran non-komersial seperti penggunaan pribadi, cukup diselesaikan lewat jalur perdata.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga mendengar penjelasan mengenai Pasal 120 yang menegaskan bahwa pelanggaran hak cipta merupakan delik aduan. Artinya, proses hukum hanya bisa dimulai jika ada laporan dari pencipta atau pemegang hak cipta yang merasa dirugikan. Ini menjadi bagian penting untuk mencegah kriminalisasi yang berlebihan dalam ranah karya cipta.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh musisi seperti Armand Maulana, Ariel NOAH, dan 27 pelaku pertunjukan lainnya. Mereka menilai sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka peluang kriminalisasi, meskipun mereka sudah memenuhi kewajiban pembayaran royalti melalui LMK.
Kasus yang menjadi sorotan antara lain gugatan terhadap penyanyi Agnez Mo oleh pencipta lagu “Bilang Saja”, Ari Bias. Agnez Mo diminta membayar ganti rugi Rp 1,5 miliar dan dilaporkan ke polisi karena dianggap tidak meminta izin langsung, meskipun royalti telah dibayarkan lewat LMK.
Anggota Komisi III DPR, I Wayan Sudirta, yang turut hadir dalam sidang menyebut persoalan ini bisa diselesaikan dengan kolaborasi antara pemohon, pemegang hak cipta, dan LMK atau LMKN sebagai pengelola royalti.
“Kalau ada penolakan pemberian izin karena ketidaktahuan ahli waris soal sistem, itu tidak serta-merta menjadikan pasal dalam UU Hak Cipta inkonstitusional,” jelas Wayan.
Sidang uji materi ini akan terus berlanjut di Mahkamah Konstitusi, dan hasilnya akan menjadi acuan penting dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan hak cipta dan kebebasan pelaku pertunjukan yang sudah mematuhi aturan.