Di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, berdiri sebuah pabrik tekstil dengan ribuan pekerja yang menggantungkan hidup pada roda bisnisnya. Pabrik yang menempati lahan seluas 79 hektare ini bukan sekadar tempat produksi, tetapi juga simbol perjalanan panjang sebuah nama besar, yaitu Sritex.
Sritex dirintis oleh HM Lukminto yang juga dikenal sebagai raja batik. Perjalanan bisnisnya dimulai dari sebuah kios kecil di Pasar Klewer, Solo. Berkat ketekunan dan strategi jitu, Lukminto berhasil membawa Sritex yang berdiri pada 1966 melesat hingga ke pasar internasional, bahkan memproduksi seragam militer untuk berbagai negara.
Pada masa kejayaannya, Sritex tak hanya menjadi pemain besar di industri tekstil, tetapi juga bagian dari denyut kehidupan masyarakat Sukoharjo. Namun, perjalanan bisnis Sritex tak selalu mulus.
Setelah sang pendiri meninggal pada 2014, tongkat estafet kepemimpinan diteruskan oleh dua putranya, Iwan Setiawan dan Iwan Kurniawan Lukminto. Mereka berhasil mempertahankan eksistensi Sritex, termasuk saat pandemi Covid-19 melanda. Di masa sulit itu, Sritex tetap tangguh dengan memproduksi 45 juta masker dalam waktu tiga minggu dan tetap mengekspor produknya ke Filipina. Namun, bayangan krisis tak bisa sepenuhnya dihindari.
Laporan keuangan terbaru menunjukkan beban utang Sritex mencapai Rp 25 triliun, sementara kerugian perusahaan hingga pertengahan tahun ini menembus Rp 402,66 miliar. Persaingan ketat di industri tekstil dan dampak pandemi semakin memperburuk kondisi. Pada akhirnya, Pengadilan Niaga Semarang memutuskan Sritex pailit. Meskipun demikian, roda produksi belum terhenti.
“Memang dalam putusan Pengadilan Niaga Semarang pada 25 Oktober dinyatakan (PT Sritex) pailit, tetapi sebenarnya perusahaan masih berjalan normal dan sampai hari ini pun masih berjalan normal,” ujar General Manager (GM) HRD Sritex Group Haryo Ngadiyono, Jumat (25/10/2024).
Soal nasib karyawan, manajemen telah memberi jaminan bahwa tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
"Intinya karena putusan pailit ini, kami tidak akan melakukan PHK massal, karena bukan perusahaan yang mempailitkan diri dan perusahaan masih jalan," ujarnya.
Putusan pailit tersebut dijatuhkan untuk perusahaan-perusahaan di bawah Sritex Group, yakni PT Sritex di Sukoharjo, PT Primayudha di Boyolali, serta PT Bitratex dan PT Sinar Pantja Djaya di Semarang. Sritex Group sendiri memiliki banyak anak perusahaan lain di luar perusahaan tersebut.
Lini Bisnis
Meskipun dikenal sebagai raksasa tekstil, keluarga Lukminto juga memiliki bisnis lain yang tetap aktif. Salah satunya adalah Gedung Olahraga (GOR) Sritex di Solo, yang rutin menjadi tempat pertandingan bola voli dan basket. Bahkan, GOR tersebut baru-baru ini menjadi venue pertandingan para basket dalam ajang Peparnas XVII Solo 2024.
Selain itu, keluarga Lukminto mengoperasikan Museum Tumurun, sebuah museum seni kontemporer yang awalnya hanya untuk koleksi pribadi keluarga. Kini, museum tersebut dibuka untuk umum dan menampilkan berbagai seni instalasi, lukisan, hingga koleksi mobil antik.
Tidak berhenti di sana, melalui PT Wisma Utama Binaloka, Sritex Group juga menjalankan beberapa hotel dan restoran, seperti Restoran Diamond, Grand Orchid, dan @Hom Hotel. Beberapa properti lainnya mencakup dua Hotel Holiday Inn Express di Yogyakarta dan Bali, serta ada Holiday Inn, Horison, dan Solo Mansion.