Grup Telegram pemerkosaan beranggotakan 70.000 pria dari berbagai negara memicu kehebohan publik pada Januari 2025 lalu.
Grup tersebut diketahui membagikan konten kekerasan seksual, termasuk video pemerkosaan dan tutorial cara melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Kasus ini hampir serupa dengan viralnya grup Facebook "Fantasi Sedarah" yang juga menyebarkan konten menyimpang.Investigasi mendalam yang dilakukan oleh jaringan penyiaran publik Jerman ARD mengungkap sejumlah grup Telegram berisi pria-pria yang berbagi strategi untuk menyasar perempuan, mulai dari istri hingga saudara kandung mereka.
Mereka bertukar gambar, video, hingga tautan untuk membeli obat penenang yang disamarkan sebagai produk perawatan pribadi.
Fenomena grup Telegram pemerkosaan ini menunjukkan betapa rentannya platform tersebut disalahgunakan.
Telegram yang dikenal karena sistem enkripsi kuat dan komitmennya terhadap privasi pengguna telah lama dikritik karena gagal mengatur konten ilegal.
Kasus eksploitasi seksual digital hingga perdagangan obat terlarang semakin sering dikaitkan dengan aplikasi ini.
Melansir dari International Business Times UK, Telegram berdiri sejak 2013 dan kini memiliki lebih dari 950 juta pengguna.Namun, perusahaan milik Pavel Durov itu menolak bergabung dengan lembaga pengawas seperti NCMEC dan IWF, serta kerap menolak menghapus konten berbahaya.
Durov sendiri ditangkap di Prancis pada Agustus 2024 atas tuduhan kelalaian dalam moderasi platformnya yang memungkinkan aktivitas kriminal.
Meski telah dibebaskan dengan jaminan sebesar 5 juta euro, dia masih menjalani tahanan rumah sembari menunggu proses hukum.
Terungkapnya grup Telegram pemerkosaan dan Fantasi Sedarah di Facebook ini semakin memperkuat seruan perlunya kolaborasi internasional dalam mengatur ruang digital. Tanpa regulasi ketat, platform tersebut akan terus menjadi tempat berlindung bagi pelaku kekerasan seksual dan kejahatan digital lainnya.