Ketidakpastian global akibat kondisi geopolitik dan lambatnya penurunan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) mendorong pelaku industri keuangan, termasuk DBS Indonesia, untuk menanti langkah kebijakan moneter dari Bank Indonesia (BI).
Menurut Consumer Banking Director DBS Indonesia Melfrida Gultom, pasar awalnya berharap The Fed menurunkan suku bunga hingga empat kali sepanjang 2025. Namun, kini ekspektasi itu menurun drastis. “Sampai kemarin, harapannya tinggal dua kali saja,” ujarnya dalam media briefing bersama DBS Treasures, Kamis (19/6/2025).
Melfrida menegaskan, ketidakpastian arah suku bunga global telah berdampak signifikan terhadap fluktuasi pasar dan keputusan investasi, terutama dalam sektor wealth management. Oleh karena itu, DBS Indonesia mengadopsi strategi defensif untuk menjaga stabilitas aset nasabah.
“Kami menghindari exposure pada aset berisiko tinggi dan lebih memprioritaskan proteksi nilai aset,” jelasnya.
Namun demikian, DBS tetap membuka peluang investasi melalui produk reksa dana syariah global dan portofolio offshore yang tersebar di berbagai kawasan strategis dunia seperti, Asia, Tiongkok, Eropa, dan Amerika Serikat.
Secara domestik, BI telah menaikkan suku bunga acuan dua kali pada 2025, yakni pada bulan Januari dan Mei. Meski begitu, pelaku pasar kini menanti langkah lanjutan BI untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tekanan eksternal.
“Kita berharap akan ada kebijakan baru yang mampu memperkuat ekonomi nasional,” tambah Melfrida.
Sebagai trusted wealth partner, DBS Indonesia kini memperluas layanan ke nasabah Indonesia yang tinggal di luar negeri, tidak hanya Singapura, namun juga berbagai negara lain. “Kami melihat banyak WNI yang tinggal di luar negeri tetap membutuhkan akses ke rekening Indonesia,” ungkap Melfrida.
Melihat proyeksi pertumbuhan ultra high net worth individuals (UHNWI) di kawasan Asia yang terus meningkat, DBS optimistis terhadap potensi pengembangan layanan wealth management.
Fokus utama tetap pada segmen middle up, yang dinilai masih menunjukkan pertumbuhan positif meski tekanan pada kelompok menengah ke bawah juga menjadi perhatian. “Potensi sektor menengah ke atas tetap menjanjikan di tengah dinamika global,” pungkasnya.