Jakarta, 11 Agustus 2025.MPR DIMINTA BATALKAN JABATAN WAKIL PRESIDEN GIBRAN RAKABUMING RAKA DALAM SIDANG TAHUNAN MPR, 15/8/2025 ATAS ALASAN "BERHALANGAN TETAP".
Para Advokat yang tergabung dalam Pergerakan Advokat Nusantara (PEREKAT NUSANTARA) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), pada hari ini, 12/8/2025, kembali mengirim surat resmi sebagai "Aspirasi Masyarakat" yang berisi "Tuntutan" kepada MPR agar MPR dalam persidangan tahunan tanggal 15/8/2025, "Mendiskualifikasi" atau "Membatalkan" jabatan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, karena jabatan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka merupakan buah dari "konspirasi jahat" yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka.
Langkah Para Advokat PEREKAT NUSANTARA dan TPDI dimaksud, merupakan tindak lanjut dari sejumlah langkah yang dilakukan pada berapa waktu sebelumnya, di mana pada tanggal 10/10/ 2024 lalu, Para Advokat PEREKAT NUSANTARA dan TPDI telah menyampaik "Surat Tuntutan" kepada MPR agar dalam sidang MPR tanggal 20 Oktober 2024 yang lalu, tidak melantik Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI dengan alasan proses pencalonannya cacat konstitusi sehingga menempatkan posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai "Berhalangan Tetap".
Namun demikian MPR tetap melantik Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI dengan mengabaikan "Aspirasi Masyarakat" dan "Tuntutan" yang disampiakan Para Advokat secara resmi kepada MPR RI tanggal 10/10/2024.
Oleh karena itu pada tanggal 2/7/2025 Para Advokat PEREKAT NUSANTARA & TPDI kambali mendatangi Kantor Wapres di Jln. Kebon Sirih, Jakarta Pusat, menyampaikan Somasi Pertama dan Terakhir kepada Gibran Rakabuming Raka, untuk mundur dari jabatan Wakil Presiden dalam tempo 7 (tujuh) hari setelah Somasi diterima , namun kenyataannya Gibran Rakabuming Raka tidak mundur, sehingga permasalahan jabatan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, harus dibawa ke MPR agar dalam sidang Paripurna MPR tanggal 15/8/2025, digagendakan untuk "dididskualifikasi" atau "dibatalkan".
Tuntutan Para Advokat dimaksud, bukan dalam ranah "pemakzulan" Wakil Presiden, akan tetapi pada ranah "pembatalan" atau "diskualifikasi" atas alasan "Berhalangan Tetap" yang sepenuhnya menjadi wewenang MPR, berdasarkan ketentuan pasal 427 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, akibat pelanggaran konstitusi dan UU dalam proses pencalonan seorang Wakil Presiden yang kemudian berkembang menjadi "Aspirasi Masyarakat" yang berisi "Tuntutan" kepada MPR.
Terkait "Aspirasi Masyarakat", hal itu berada di luar kewenangan MK, KPU, BAWASLU, PTUN dan DKPP, di mana seorang Calon Wakil Presiden terpilih ketika berada dalam posisi "berhalangan tetap" maka menjadi kewenangan MPR untuk tidak melantik atau membatalkan jabatan Wakil Presiden dalam sidang MPR.
Di sinilah letak peran kunci "Kedaulatan Rakyat" berada di tangan MPR, selaku lembaga negara dengan kewenangan tertinggi, di luar MK, di luar KPU, BAWASLU, Peradilan TUN dan DKPP terlebih-lebih ketika MK, KPU, BAWASLU, Peradilan TUN dan DKPP berada dalam cengkraman Dinasti Politik dan Nepotisme, maka peradilan rakyat di MPR berwenang untuk "tidak melantik" Calon Wakil Presiden terpilih atau "membatalkan" jabatan Wakil Presiden atas alasan "berhalangan tetap" sesuai Aspirasi Masyarakat.
Ini jelas penggunaan kewenangan MPR yang tertunda terkait pelaksanaan UUD 45, menyangkut tugas dan wewenang MPR menyerap "Aspirasi Masyarakat", sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan UUD 45, UU No. 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan ketentuan pasal 427 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan Tata Tertib MPR No. 1 Tahun 2024.
Adapun alasan konstitusional yang menempatkan posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai 'Berhalangan Tetap" yang seharusnya didiskualifikasi/tidak dilantik oleh MPR pada tanggal 20 Oktober 2024, adalah sbb. :
Terdapat berbagai Peristiwa Hukum dan Fakta Hukum yang sangat penting dan menentukan yang berimplikasi hukum pada posisi Gibran Rakabuming Raka, sebagai "Berhalangan Tetap" saat dilantik, sbb. :
1. Terdapat "peristiwa hukum" dan terdapat "fakta hukum" yang notoire feiten bahwa dalam proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres, terjadi konspirasi atau persekongkolan jahat antara Presiden Jokowi, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka (ketik itu sebagai bakal Cawapres), melalui apa yang disebut dinasti politik dan nepotisme yang fakta-faktanya terungkap dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/2023 dan Putusan MKMK No. 2, No. 3, No. 4 dan No. 5/ MKMK/L/11/ 2023 tertanggal 7/11/2023.
2. Konspirasi jahat itu berimplikasi hukum pada Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/2023 menjadi "tidak sah"; Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dijatuhi sanksi administratif berupa pemberhentian dari jabatan Ketua MK, karena terbukti melakukan pelanggaran berat; dan 8 (delapan) Hakim Konstitusi lainnya diberi sanksi administratif berupa teguran oleh MKMK, karena terbukti melakukan pelanggaran ringan terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
3. Selain daripada itu 7 (tujuh) Komisioner KPU dijatuhi sanksi Administratif berdasarkan Putusan DKPP No. : 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023, tanggal 5/2/2024, akibat menerima dan menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres sebelum Peraturan KPU yang mengatur batas usia minimum Capres dan Cawapres 40 tahun diubah oleh KPU.
4. Terdapat fakta hukum yang tak terbantahkan yaitu Dinasti Politik dan Nepotisme sebagai perbuatan yang dilarang oleh UU, diciptakan oleh Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka, telah menimbulkan suatu kondisi di mana MK berada dalam cengkraman dan belenggu "dinasti politik" dan "nepotisme" dengan segala akibat hukumnya, sehingga 9 Hakim MK terbelenggu nalar dan memiliki konflik kepentingan dalam proses perkara No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/2023.
5. Kasus Fufufafa yang dituduhkan kepada Gibran Rakabuming Raka dan menjadi viral di tengah masyarakat, perlu mendapat perhatian MPR karena menyangkut perilaku, tabiat, kejujuran dan integritas seorang pejabat publik dengan jabatan Wakil Presiden, namun hingga saat ini dibiarkan oleh semua lembaga penegak hukum untuk dilakukan proses hukum.
Dalam kondisi di mana MK dan lembaga Penegak Hukum lainnya tidak lagi merdeka karena berada dalam cengkraman Dinasti Politik dan Nepotisme Presiden Jokowi dan Ketua MK Anwar Usman demi Gibran Rakabuming Raka, maka MPR sebagai satu-satunya lembaga negara dengan kewenangan tertinggi, memiliki wewenang untuk "mendiskualifikasi" jabatan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Padahal konstitusi dan peraturan perundang-undangan turunannya, secara tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan; Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan; Segala campur tangan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang dan jika dilanggar maka dipidana; seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila memiliki "konflik kepentingan" karena terikat hubungan keluarga atau karena memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang ia periksa baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Namun semua prinsip konstitusi dan prinsip peradilan kita telah dilanggar oleh Hakim MK, oleh Ketua MK Anwar Usman, oleh Presiden Jokowi, oleh DPR RI dan oleh Gibran Rakabuming Raka dalam perkara No. 90/PUU-XXI/2023, maka "putusan Hakim MK dalam perkara No. 90/PUU-XXI/2023, dinyatakan tidak sah" dan "terhadap hakim atau panitera dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Implikasinya adalah posisi pencawapresan Gibran menjadi tidak sah dan menjadikanya "Berhalangan Tetap", karena daya rusak yang ditimbulkannya itu telah merusak bagian hulu dari Konstitusi di mana putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang dinyatakan tidak sah oleh kekuatan pasal 17 ayat (6) UU No. 48 Tahun 2009, diabaikan oleh MK dan oleh MPR sendiri, semata-mata karena jaminan dari UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala campur tangan kekuasaan manapun, telah dilanggar dan yang melanggar adalah Presiden Jokowi, DPR RI, Ketua MK Anwar Usman dan oleh Gibran Rakabuming Raka.
Bukti-bukti tentang pelanggaran hukum itu, dapat dibaca dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/2023, jo. Putusan MKMK No : 2. No. 3, No. 4 dan No. 5/MKMK/L/11/2023 tanggal 7/11/2023 dan Putusan DKPP No. : 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023, tanggal 5/2/2024, sehingga harus dipandang sebagai telah menempatkan Gibran Rakabuming Raka pada posisi "Berhalangan Tetap", sejak pecalonannya berlangsung hingga dilantik sebagai Wakil Presiden.
Dengan demikian, maka secara konstitusi dan hukum pencawapresan Gibran Rakabuming Raka hingga dilantik pada 20/10/2024, merupakan buah dari "Konspirasi Jahat" yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka.
Oleh karena itu kami Para Advokat PEREKAT NUSANTARA & TPDI, pada kesempatan ini menyampaikan "Aspirasi Masyarakat" yang berisi "Tuntutan" kepada MPR sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan tertinggi dari lembaga negara lainnya, agar dalam sidang Paripurna MPR RI tanggal 15/8/2025, antara lain mengagendakan pembahasan terhadap "Aspirasi Masyarakat" yang berisi "Tuntutan", agar Gibran Rakabuming Raka didiskualifikasi atau dibatalkan dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI.
Jakarta, 12 Agustus 2025
SUMBER PARA ADVOKAT PEREKAT NUSANTARA & TPDI
(Petrus Selestinus, Erick S. Paat, Robert B. Keytimu, Carrel Ticualu, Achmad Dilapanga, Hasoloan Hutabarat, Jemmy Mokolensang, Ricky D. Moningka, Firman Tendry Masengi, Jahmada Girsang, Posma GP. Siahaan dkk.)