Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) mendorong masyarakat untuk lebih aktif berperan dalam mengawasi risiko digital bagi anak dan remaja di bawah usia 18 tahun.
Ajakan ini disampaikan seiring tingginya jumlah pengguna internet di kelompok usia tersebut, yang mencapai 48% dari total 229 juta pengguna.
Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Komdigi, Fifi Aleyda Yahya, menjelaskan bahwa berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2025, tingkat penetrasi internet nasional telah menyentuh 80% atau setara dengan 229 juta pengguna.Dari jumlah tersebut, hampir separuhnya adalah anak dan remaja di bawah 18 tahun. Kondisi ini membuat pemerintah merasa perlu meningkatkan perlindungan agar mereka terhindar dari berbagai ancaman di ruang digital.
“Ini kerja bersama. Anak-anak harus tetap mendapatkan ruang aman di dunia digital, baik untuk belajar maupun aktivitas produktif lainnya, bukan justru terpapar hal negatif,” ujar Fifi.
Ia menambahkan, pemerintah telah mengambil langkah nyata melalui penerbitan PP Tunas, regulasi baru yang mengatur perlindungan anak dan remaja di ruang digital. Melalui aturan tersebut, seluruh platform digital, termasuk media sosial, layanan video, hingga gim daring, diwajibkan menyediakan lingkungan yang bersih dari konten berbahaya.
“Setelah Australia, Indonesia menjadi negara kedua di dunia yang menghadirkan kebijakan khusus perlindungan anak di ruang digital. Ini membuktikan komitmen kuat pemerintah dalam menjaga generasi muda,” kata Fifi.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kota Tangerang, Mugiya Wardhany, menegaskan bahwa edukasi mengenai keamanan digital merupakan bagian dari komitmen pemerintah daerah untuk menjaga warganya di ruang siber, terutama di tengah meningkatnya aktivitas masyarakat di dunia maya.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak sembarangan membagikan data pribadi kepada pihak yang tidak dikenal. Selain itu, warga diminta segera melaporkan situs atau akun mencurigakan melalui saluran pengaduan resmi pemerintah.
Menurutnya, banyaknya kasus kebocoran data pribadi terjadi karena rendahnya kewaspadaan pengguna dalam memeriksa keaslian tautan maupun pesan yang diterima.
“Kami tidak hanya mengandalkan sistem keamanan pemerintah, tetapi juga ingin menumbuhkan kesadaran kolektif. Perlindungan data pribadi itu dimulai dari kebiasaan pengguna masing-masing,” ujar Mugiya.