Bank Indonesia (BI) resmi mempertahankan suku bunga acuan
atau BI rate pada level 4,75% pada rapat dewan gubernur (RDG) Desember 2025. BI
rate yang bertahan pada level 4,75% itu menjadi penanda penting arah kebijakan
moneter menjelang 2026.
Setelah pelonggaran agresif sepanjang 2025 dengan total
penurunan 125 basis poin, pasar kini memasuki fase menunggu, yakni terkait
ruang penurunan suku bunga pada 2026.
Diketahui, sepanjang 2025, BI telah lima kali memangkas BI
rate dari level 6,00% di awal tahun menjadi 4,75% pada Desember 2025.
Berikut adalah perincian keputusan RDG BI sepanjang 2025:
Januari 2025: BI menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi
5,75%.
Februari-April 2025:
Suku bunga ditahan di 5,75% untuk mencermati perkembangan global.
Mei 2025: Penurunan
kembali dilakukan sebesar 25 bps menjadi 5,50%.
Juni 2025: Suku bunga
kembali ditahan di 5,50%
Juli 2025: Penurunan
25 bps menjadi 5,25%
Agustus 2025:
Penurunan 25 bps lagi menjadi 5,00%
September 2025:
Penurunan terakhir tahun ini sebesar 25 bps mencapai level terendah 4,75%
Oktober-Desember 2025: Suku bunga dipertahankan di 4,75%
hingga akhir tahun.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan menahan suku
bunga diambil untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan,
terutama di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi.
“Ke depan, BI akan terus mencermati peluang penurunan BI
rate lebih lanjut dengan mempertimbangkan perkiraan inflasi 2026 yang tetap
terkendali dalam sasaran 2,5±1%, serta perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi,” ujar Perry Warjiyo dalam konferensi pers RDG BI, Rabu
(17/12/2025).
Namun, Perry menegaskan bahwa besaran dan waktu penurunan
suku bunga akan terus dievaluasi secara berkala melalui rapat dewan gubernur
(RDG) bulanan, dengan mempertimbangkan perkembangan inflasi, pertumbuhan
ekonomi, stabilitas nilai tukar, serta kondisi moneter dan keuangan global.
Selain suku bunga, BI juga terus memperkuat stabilisasi
nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi.
Upaya tersebut dilakukan melalui intervensi di pasar luar
negeri menggunakan instrumen non-delivery forward (NDF) di pasar Asia, Eropa,
dan Amerika Serikat, serta intervensi di pasar valuta asing domestik, baik
melalui transaksi spot, DNDF, maupun pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di
pasar sekunder.
Dari sisi ekspansi likuiditas, BI menargetkan pertumbuhan
uang primer mencapai double digit mulai Desember 2025 dan berlanjut sepanjang
2026. Langkah ini ditempuh untuk memastikan likuiditas perbankan dapat mengalir
lebih optimal ke sektor riil.
Untuk mendukung ekspansi likuiditas, BI telah menurunkan
posisi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dari sekitar Rp 920 triliun di
awal tahun menjadi sekitar Rp 700 triliun, sehingga menambah likuiditas lebih
dari Rp 200 triliun. Selain itu, sepanjang 2025 BI juga telah membeli SBN di
pasar sekunder sebesar Rp 327,45 triliun.
BI juga meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter
dengan memberikan remunerasi atas kelebihan likuiditas perbankan (excess
reserve). Remunerasi tersebut diberikan untuk dana sebesar Rp 25 triliun dengan
tingkat bunga di bawah suku bunga deposit facility (PASRT) sebesar 3,5%.
Inflasi Terkendali tetapi Risiko Global Membayangi
Secara domestik, ruang pelonggaran moneter RI masih terbuka.
Inflasi Indonesia hingga November 2025 tercatat 2,75% (year on year), masih
berada dalam kisaran target BI.
Permintaan domestik juga belum sepenuhnya pulih kuat,
sementara sektor kredit masih membutuhkan dorongan suku bunga yang lebih
rendah.
Namun dari sisi eksternal, tekanan datang dari arah
kebijakan moneter global, terutama Amerika Serikat (AS). Meski data ekonomi AS
mulai menunjukkan tanda-tanda perlambatan, arah kebijakan The Federal Reserve
belum sepenuhnya pasti.
Ekonom makro LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky,
menilai langkah BI menahan suku bunga saat ini sudah tepat.
“Dengan inflasi yang masih dalam target, ruang pelonggaran
memang ada. Namun BI tetap perlu memprioritaskan stabilitas nilai tukar rupiah,
terutama di tengah ketidakpastian arus modal global,” kata Riefky.
Menurutnya, penurunan suku bunga yang terlalu agresif
berisiko menekan rupiah jika tidak diiringi kondisi eksternal yang kondusif.
“BI harus siap melakukan intervensi bila diperlukan agar
stabilitas rupiah tetap terjaga,” tambahnya.
Ia menjelaskan, inflasi domestik saat ini cenderung berada
pada batas atas rentang target inflasi Bank Indonesia dan berpotensi meningkat
pada akhir 2025. Hal itu menyusul adanya faktor musiman, yaitu libur akhir
tahun, yang dapat mengerek inflasi.
Sementara itu, walaupun rupiah cenderung menguat dalam beberapa
minggu belakangan, pergerakan nilai tukar masih fluktuatif dan masih terdapat
ruang untuk stabilisasi rupiah lebih lanjut.
Rupiah tercatat menguat sekitar 0,11% dalam 30 hari terakhir
dan berada di level Rp 16.652 per US$ pada 15 Desember 2025. Hal ini didorong
aliran modal asing yang dipicu kombinasi penurunan suku bunga Federal Funds
Rate (FFR) oleh The Fed serta keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga
kebijakan sebelumnya.
Namun, rupiah masih tercatat melemah sebesar 3,6% secara
year to date (ytd) sepanjang tahun ini dan memiliki kinerja yang lebih buruk
dibandingkan sebagian besar mata uang negara berkembang.
Pemangkasan BI Rate 2026 Bisa hingga Tiga Kali
Kepala Ekonom BCA David Sumual sebelumnya menyebut masih ada
peluang penurunan suku bunga BI dua hingga tiga kali pada 2026, dengan catatan
tekanan inflasi global mereda.
“Kalau The Fed mulai
lebih akomodatif dan tekanan dolar AS berkurang, BI punya ruang untuk lanjut
memangkas suku bunga,” ujarnya.
Namun, David juga mengingatkan bahwa BI akan sangat
berhati-hati agar pelonggaran tidak memicu volatilitas di pasar keuangan,
khususnya pasar obligasi dan nilai tukar.