-->

Notification

×

Iklan

Iklan

banner 728x90

Indeks Berita

Mengapa Kasus Dugaan Ijazah Palsu Perlu Dituntaskan?

Sabtu, 06 Desember 2025 | Desember 06, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-06T08:30:34Z


Sebuah Seruan Moral dan Politik untuk Menegakkan Kebenaran


Oleh: Wilson Lalengke


Jakarta - Kepalsuan adalah buah dari kebohongan. Ia lahir dari ketidakjujuran, tumbuh dari niat menutupi kebenaran, dan berkembang menjadi perisai bagi kejahatan. Kebohongan bukan sekadar kata-kata yang menyesatkan, melainkan fondasi rapuh yang dapat meruntuhkan tatanan sosial, politik, dan moral suatu bangsa. Ketika kebohongan dibiarkan, ia menjelma menjadi akar kesengsaraan umat manusia.


Kasus dugaan ijazah palsu yang menyeret seorang tokoh publik di Indonesia bukanlah isu administratif belaka. Ia menyangkut integritas, kejujuran, dan legitimasi moral seorang pemimpin. Bangsa ini tidak bisa tumbuh di atas kebohongan. Jika dugaan itu benar, maka ia adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Jika dugaan itu salah, maka penyelesaiannya tetap penting untuk mengembalikan kepercayaan publik.


Kebohongan Sebagai Tirai Berduri


Kebohongan berfungsi sebagai tirai berduri yang menutup kebenaran. Ia melukai siapa saja yang mencoba menyingkapnya, dan membuat kebenaran sukar hadir di tengah bangsa yang permisif serta berbudaya bohong. Ketika masyarakat terbiasa dengan kebohongan, kebenaran dianggap tidak penting. Ketika kebenaran diabaikan, ketidakadilan merajalela. Dan ketika keadilan hilang, kehancuran bangsa hanya tinggal menunggu waktu.


Kasus dugaan ijazah palsu adalah contoh nyata bagaimana kebohongan bisa menjadi tirai berduri. Ia menutup ruang diskusi sehat, menimbulkan polarisasi, dan menciptakan ketidakpercayaan. Alih-alih mencari kebenaran, banyak pihak justru memilih diam atau membela tanpa dasar. Padahal, tidak ada alasan pembenar terhadap kebohongan.


Mengapa Kasus Ini Harus Dituntaskan?


Pertama, karena menyangkut integritas pribadi yang menduduki jabatan publik. Seorang pemimpin harus menjadi teladan dalam kejujuran. Jika ijazah yang menjadi dasar legitimasi pendidikan dan kariernya palsu, maka seluruh kebijakan dan keputusan yang ia buat kehilangan legitimasi moral. Rakyat berhak tahu apakah orang yang mereka percayai benar-benar layak secara akademik dan moral.


Kedua, kasus ini menyangkut kredibilitas institusi pendidikan dan hukum. Jika dugaan ijazah palsu tidak pernah diselesaikan, maka sistem pendidikan kita dianggap lemah dan mudah dimanipulasi. Begitu pula dengan sistem hukum, yang akan dipandang tidak berdaya menghadapi kebohongan orang berkuasa. Penyelesaian kasus ini adalah ujian bagi lembaga pendidikan, aparat penegak hukum, dan demokrasi kita.


Ketiga, kasus ini menyangkut masa depan bangsa. Tidak ada bangsa yang dapat tumbuh di atas kebohongan. Jika kebohongan dibiarkan, ia akan menjadi budaya. Generasi muda akan belajar bahwa manipulasi adalah jalan pintas menuju kekuasaan. Mereka akan percaya bahwa kejujuran tidak penting, bahwa kebenaran bisa dikalahkan oleh kepentingan. Dan ketika generasi muda kehilangan kompas moral, bangsa ini akan kehilangan arah.


Kebohongan dan Kebenaran


Kebohongan memang berlari secepat kilat. Ia bisa menyebar dengan cepat, menutupi ruang publik, dan mempengaruhi opini masyarakat. Namun, pada akhirnya kebenaran akan mengalahkannya. Kebenaran mungkin datang terlambat, tetapi ia tidak pernah gagal. Sayangnya, ketika kebenaran tiba, bangsa pembohong itu bisa saja sudah lenyap. Kehancuran moral dan sosial yang ditimbulkan oleh kebohongan sering kali tidak bisa diperbaiki hanya dengan menghadirkan kebenaran.


Itulah mengapa kebohongan harus dicegah sejak awal, dan kebenaran harus ditegakkan tanpa menunggu waktu. Kasus dugaan ijazah palsu adalah kesempatan bagi bangsa ini untuk memilih jalan kebenaran. Apakah kita akan membiarkan kebohongan berlari bebas, ataukah kita akan menghentikannya dengan keberanian dan integritas?


Tanggung Jawab Bersama


Menuntaskan kasus ini bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab masyarakat. Rakyat harus berani menuntut transparansi, media harus berani mengungkap fakta, akademisi harus berani bersuara, dan lembaga negara harus berani menegakkan hukum. Diam berarti membiarkan kebohongan tumbuh. Diam berarti membiarkan keadilan mati.


Kita harus ingat bahwa keadilan adalah fondasi bangsa. Tanpa keadilan, tidak ada demokrasi. Tanpa keadilan, tidak ada kesejahteraan. Tanpa keadilan, tidak ada masa depan. Dan keadilan hanya bisa ditegakkan jika kebenaran dihadirkan. Itulah mengapa kasus dugaan ijazah palsu ini harus dituntaskan, apa pun hasilnya. Jika benar ada kepalsuan, maka pelakunya harus bertanggung jawab. Jika tidak, maka kebenaran harus diumumkan secara terbuka agar tidak ada lagi keraguan.


Penutup

Kepalsuan adalah buah kebohongan. Kebohongan adalah perisai kejahatan. Kejahatan adalah akar kesengsaraan umat manusia. Tidak ada bangsa yang dapat tumbuh di atas kebohongan. Tidak ada alasan pembenar terhadap kebohongan. Kebenaran mungkin datang terlambat, tetapi ia akan selalu menang.


Kasus dugaan ijazah palsu bukan sekadar persoalan individu. Ia adalah cermin bagi bangsa. Apakah kita bangsa yang berani menegakkan kebenaran, ataukah kita bangsa yang rela tenggelam dalam kebohongan? Jawabannya akan menentukan masa depan kita. Karena hanya dengan kebenaran, keadilan bisa hidup. Dan hanya dengan keadilan, bangsa ini bisa bertahan. (*)


Penulis adalah Petisioner Hak Asasi Manusia pada konferensi the 80th Petitioners Hearing at the Fourth Committee of the United Nations, New York City, Oktober 2025

×
Berita Terbaru Update