Bunuh diri di kalangan musisi bukanlah hal baru. Sejumlah nama besar seperti Kurt Cobain (Nirvana), Chester Bennington (Linkin Park), Ian Curtis (Joy Division), Chris Cornell (Soundgarden), DJ Avicii, hingga bintang K-Pop Goo Hara dan Moonbin menjadi bagian dari daftar panjang musisi yang mengakhiri hidup mereka sendiri. Fenomena ini menyoroti keterkaitan erat antara industri musik, kesehatan mental, dan risiko kematian dini yang lebih tinggi dibandingkan profesi lain.
Dikutip Eureka Alert, Jumat (7/3/2025), penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Frontiers in Public Health kembali menyoroti bunuh diri di kalangan musisi sebagai masalah serius. Data dari Office for National Statistics di Inggris (2011–2015) menunjukkan bahwa musisi, aktor, dan penghibur termasuk dalam lima besar profesi dengan tingkat kematian akibat bunuh diri tertinggi. Dalam kategori pekerjaan "budaya, media, dan olahraga," tingkat bunuh diri pria tercatat 20% lebih tinggi dari rata-rata populasi, sementara pada wanita angkanya bahkan 69% lebih tinggi.
Di Amerika Serikat, tren serupa juga terlihat. Pada 2022, tingkat bunuh diri secara umum adalah 14,2 per 100.000 orang, tetapi bagi musisi pria dan pekerja industri musik, angkanya melonjak hingga 138,7 per 100.000. Untuk musisi perempuan, risikonya bahkan lebih tinggi dibandingkan kelompok pekerjaan lain dalam beberapa tahun terakhir.
Di Korea Selatan, meskipun data spesifik masih terbatas, kasus bunuh diri musisi K-Pop semakin menegaskan bahwa fenomena ini bersifat global. “Tekanan sosial, ekspektasi tinggi dari penggemar, dan budaya kerja yang keras disebut sebagai faktor yang memperburuk kondisi mental musisi di sana,” tulis laporan tersebut.
Di Balik Mitos "Seniman Tersiksa"

Selama bertahun-tahun, ada anggapan bahwa bunuh diri di kalangan musisi adalah bagian dari takdir seniman yang penuh penderitaan. Namun, penelitian menunjukkan bahwa realitasnya jauh lebih kompleks. Banyak faktor yang berkontribusi, seperti tekanan industri musik yang eksploitatif, kecemasan berlebihan akibat sorotan media sosial, ketidakstabilan finansial, serta pola tidur yang berantakan akibat jadwal tur yang padat.
Narasi romantisasi penderitaan seniman ini justru semakin memperburuk keadaan, karena membuat isu kesehatan mental di industri musik sering diabaikan. Padahal, banyak musisi yang sebenarnya bisa dibantu jika mendapat dukungan yang tepat sejak dini.
Beberapa organisasi telah mulai mengambil langkah nyata untuk menangani bunuh diri di kalangan musisi. Di Inggris, Man Down Programme menyediakan dukungan psikologis bagi musisi pria. Di Amerika Serikat, Backline menawarkan layanan kesehatan mental khusus bagi pelaku industri musik, sementara di Australia, Support Act memberikan bantuan bagi musisi yang mengalami krisis psikologis atau keuangan.
Namun, para ilmuwan melihat masih banyak yang perlu dilakukan. Mereka menyarankan pendekatan komprehensif kepada musisi. Misalnya pelatihan pencegahan bunuh diri bagi manajer, keluarga, dan orang-orang di sekitar musisi.
Begitu juga dengan skrining kesehatan mental rutin menggunakan metode berbasis bukti seperti Columbia Suicide Severity Rating Scale. Termasuk memberiukan dukungan saat tur agar musisi tetap memiliki akses ke layanan kesehatan mental meskipun berpindah-pindah lokasi.
"Peningkatan kesadaran di industri musik agar pencegahan bunuh diri menjadi prioritas," jelas para ilmuwan.
Pada akhirnya, masyarakat menurut para ilmuwan perlu mengubah cara industri dan masyarakat memperlakukan musisi. Musik telah memberikan warna dalam hidup, tetapi sudah saatnya masyarakat juga menjaga kesejahteraan mereka. Bunuh diri di kalangan musisi bukan sekadar statistik, kondisi yang terjadi justru adalah panggilan bagi semua untuk bertindak.