Paus Leo XIV telah resmi terpilih dalam konklaf 2025 di Vatikan, menandai dimulainya babak baru dalam kepemimpinan Gereja Katolik. Namun, di tengah sorotan global terhadap pemilihan ini, muncul kembali pertanyaan yang terus berulang dari masa ke masa, kenapa wanita tidak ada yang menjadi Paus?
Gereja Katolik Roma merupakan institusi yang sangat menjunjung tinggi tradisi dan doktrin yang telah dijaga selama lebih dari 2.000 tahun. Salah satu aturan yang paling banyak disorot adalah larangan terhadap wanita untuk menduduki posisi Paus. Hal ini bukan hanya sekadar norma sosial, tetapi telah diatur secara eksplisit dalam Hukum Kanonik Gereja.
Menurut Kanon 1024 dalam Codex Iuris Canonici, hanya laki-laki yang telah dibaptis yang bisa ditahbiskan menjadi imam. Karena syarat utama untuk menjadi Paus adalah telah menjadi imam dan umumnya melalui tahapan sebagai kardinal, maka perempuan secara otomatis tidak memenuhi syarat formal tersebut. Dengan kata lain, kenapa wanita tidak menjadi Paus tidak bisa dilepaskan dari struktur hierarki dan sakramental gereja itu sendiri.
Pilihan Yesus atas Rasul Laki-laki
Gereja mendasarkan posisinya pada teladan Yesus Kristus yang memilih dua belas rasul, semuanya laki-laki. Pilihan ini dianggap bukan sekadar keputusan kontekstual historis, tetapi sebagai prinsip teologis yang berlaku sepanjang masa.
Para rasul inilah yang kemudian meneruskan misi kerasulan dan pelayanan sakramental hanya kepada laki-laki, membentuk rantai imamat yang eksklusif pria dari generasi ke generasi.
Hal ini dijadikan dasar oleh gereja untuk mempertahankan larangan terhadap pentahbisan perempuan, termasuk menduduki jabatan tertinggi sebagai Paus. Seperti dilansir dari Times of India, gereja menegaskan perubahan dalam struktur tersebut tidak hanya bertentangan dengan tradisi, tetapi juga dengan doktrin dasar yang tidak dapat diubah.
BACA JUGA
Menguak Tugas Kardinal yang Tak Hanya Memilih Paus Baru
Tidak Pernah Ada Paus Perempuan dalam Sejarah
Sepanjang sejarah Gereja Katolik, tidak pernah tercatat adanya perempuan yang menjadi Paus. Meskipun ada legenda tentang Paus Joan, seorang wanita yang konon menyamar sebagai pria dan naik menjadi Paus, kisah ini tidak diakui secara resmi oleh gereja dan dianggap sebagai mitos tanpa bukti sejarah yang kredibel.
Fakta lainnya menunjukkan seluruh pemimpin Gereja Katolik dari masa ke masa selalu adalah pria. Bahkan ketika ada Paus yang diangkat dari latar belakang nonkardinal, seperti Paus Callixtus III (1455) atau Paus Urbanus VI (1378), semuanya tetap laki-laki. Hal ini memperkuat argumen sistem yang ada memang tidak memberi ruang bagi perempuan dalam struktur kepemimpinan tertinggi.
Upaya Inklusivitas Masih Terbatas
Meski perempuan tidak dapat menjadi imam atau Paus, Gereja Katolik telah menunjukkan beberapa kemajuan dalam hal partisipasi perempuan dalam lembaga Vatikan. Salah satunya adalah penunjukan perempuan ke posisi strategis oleh Paus Fransiskus, seperti jabatan undersecretary di Synod of Bishops. Hal itu adalah langkah simbolis menuju inklusivitas, meskipun kewenangannya tetap terbatas.
Namun, banyak aktivis kesetaraan gender menilai langkah ini masih belum cukup. Kate McElwee dari Women's Ordination Conference menyatakan harapan besar terhadap perubahan struktural masih jauh dari kenyataan. Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera pada Selasa (6/5/2025), dia mengungkapkan kekhawatiran Paus baru mungkin akan menghentikan progres yang sempat dibuka oleh pendahulunya.
Menjawab pertanyaan kenapa wanita tidak menjadi Paus berarti memahami ini bukan sekadar persoalan administratif atau diskriminasi modern, melainkan berkaitan erat dengan struktur doktrinal dan sejarah Gereja Katolik. Selama gereja mempertahankan posisi hanya laki-laki yang bisa menjadi imam, maka peluang bagi perempuan menjadi Paus tetap tertutup rapat.