Tragedi mengejutkan terjadi di lingkungan Universitas Lampung (Unila). Seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) jurusan Bisnis Digital 2024, Pratama Wijaya Kusuma, meninggal dunia setelah mengikuti pendidikan dasar (diksar) organisasi mahasiswa pencinta alam, Mahepel FEB Unila. Korban diduga meninggal akibat penganiayaan berat oleh seniornya.
Peristiwa kekerasan ini terjadi saat diksar yang berlangsung pada 10-14 November 2024 di Desa Talang Mulya, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Diksar tersebut diikuti oleh enam mahasiswa baru, termasuk Pratama.
Menurut kesaksian korban lainnya, Pratama mengalami kekerasan fisik berulang, termasuk ditendang di bagian perut dan dada, serta dipaksa meminum spritus. Ia juga kerap mendapat hukuman fisik berlebihan setiap kali dianggap melakukan kesalahan.Pratama kemudian mengalami penggumpalan pembuluh darah di kepala, serta luka fisik di leher, siku, dan bagian atas perut. Sejak kembali dari kegiatan tersebut, kondisi kesehatannya menurun dan ia tidak lagi mengikuti kegiatan perkuliahan. Setelah dirawat di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung, Pratama akhirnya meninggal dunia pada Senin (28/4/2025).
Tak hanya Pratama, mahasiswa lain bernama Muhammad Arnando Al Faris juga menjadi korban kekerasan saat diksar. Ia mengalami pecah gendang telinga dan gangguan pendengaran. Ironisnya, Al Faris juga mengaku mendapat intimidasi dari senior dan pihak fakultas, termasuk ancaman nilai akademik jika ia berbicara tentang insiden tersebut.
“Saya sempat lapor ke pihak dekan, tetapi diminta diam. Kalau tidak, nilai saya diintervensi,” kata Al Faris, Kamis (29/5/2025).
Ia akhirnya memutuskan berhenti kuliah demi menuntut keadilan atas kematian Pratama.
Al Faris kini telah pulih 95 persen setelah menjalani perawatan, meski masih merasakan nyeri saat telinganya terkena air. Ia berharap kekerasan seperti ini tidak kembali terjadi, dan meminta agar Mahepel FEB Unila dibekukan.
Pascakematian Pratama, puluhan mahasiswa FEB Unila melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung Rektorat Unila, Rabu (28/5/2025). Mereka menuntut rektor dan dekan FEB bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Koordinator aksi, Zidan, menyampaikan, kematian Pratama merupakan akibat dari kekerasan terstruktur di organisasi kampus. Ia menyayangkan sikap fakultas yang terkesan menutup-nutupi kasus ini.
“Sudah ada bukti medis, pernyataan keluarga, dan bukti digital. Namun, tidak ada tindakan tegas. Bahkan dekan menolak menandatangani pakta integritas,” ujar Zidan.
Ia juga mengecam upaya membungkam keluarga korban agar tidak menuntut kasus ini. “Ini bentuk pembiaran. Diagnosa medis menunjukkan ada pembuluh darah menggumpal menjadi tumor di otak kecil sebelah kiri akibat kekerasan fisik,” tegasnya.
Menanggapi hal ini, pihak Universitas Lampung telah membentuk tim investigasi internal untuk menyelidiki dugaan kekerasan dalam kegiatan diksar Mahepel FEB.