Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui lima resolusi pro-Palestina dengan dukungan mayoritas yang sangat kuat pada Jumat (5/12/2025) waktu setempat.
Hasil tersebut mencerminkan semakin menguatnya konsensus
internasional terkait hak-hak rakyat Palestina di tengah agresi Israel yang
masih berlangsung.Perwakilan Tetap Palestina untuk PBB Riyad Mansour
menyampaikan apresiasinya atas hasil pemungutan suara tersebut.
Ia menilai keputusan Majelis Umum mencerminkan meningkatnya
empati komunitas internasional terhadap nasib rakyat Palestina, terutama
menyangkut isu pengungsi di tengah agresi brutal Israel di Gaza dan Tepi Barat.
"Dukungan internasional ini menunjukkan komitmen kuat
untuk menjunjung nilai kemanusiaan dan prinsip hukum internasional, sekaligus
menyoroti urgensi perlindungan bagi warga sipil Palestina," ucapnya.
Resolusi pertama menyangkut isu pengungsi Palestina dan
disahkan oleh 151 negara. Hanya 11 negara menolak dan 11 lainnya abstain,
menunjukkan semakin terisolasinya posisi Israel dalam diplomasi global.
Resolusi kedua memperpanjang mandat Badan PBB untuk
Pengungsi Palestina (UNRWA) selama tiga tahun ke depan. Sebanyak 145 negara
memberikan suara setuju, 10 menolak, dan 18 abstain. Dukungan luas ini
menandakan kepercayaan internasional terhadap peran penting UNRWA dalam
memberikan layanan kemanusiaan.
Resolusi ketiga yang mengatur tentang properti dan
pendapatan pengungsi Palestina bahkan memperoleh dukungan tertinggi, yakni 157
suara setuju, dengan 10 suara menolak dan sembilan abstain.
Resolusi keempat, terkait mandat Komite Khusus PBB yang
menyelidiki praktik Israel yang memengaruhi hak asasi warga Palestina dan warga
Arab di wilayah pendudukan, disahkan dengan 88 suara setuju. Sebanyak 19 negara
menolak dan 64 abstain, mencerminkan kompleksitas dan sensitivitas politik isu
tersebut.
Resolusi kelima mengecam pembangunan permukiman Israel di
wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi
Golan. Sebanyak 146 negara mendukung, 13 menolak, dan 17 abstain.
Dukungan mayoritas ini dipandang sebagai penegasan kembali
sikap global bahwa pembangunan permukiman melanggar hukum internasional dan
menghambat upaya penyelesaian dua negara.