Tekad dan keberanian Arman Zebua (25) menjadi penentu hidup
dan mati bagi 52 warga Desa Hutanabolon, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli
Tengah (Tapteng), saat kampung mereka diterjang longsor dan banjir bandang.
Dalam kondisi ekstrem, Arman nyaris tertimbun lumpur dan terseret arus sungai
demi mencari bantuan dan mengevakuasi para pengungsi.
Bencana bermula pada Sabtu (22/12/2025). Sejak dini hari,
hujan deras tanpa henti mengguyur wilayah Lorong 4, Desa Hutanabolon. Awalnya,
warga tak terlalu khawatir karena hujan lebat lazim terjadi setiap akhir tahun.
Situasi berubah drastis ketika kabar longsor di perbukitan
sekitar mulai terdengar. Menyadari ancaman serius, Arman segera mengajak
keluarganya, ibu, abang, kakak ipar, dua keponakan, dan adiknya, mengungsi ke
gereja di dataran lebih tinggi. Warga lain pun mengikuti langkah serupa.
Selama tiga hari, gereja menjadi tempat bertahan hidup.
Meski hujan terus turun, warga masih sempat bolak-balik ke rumah untuk memasak
dan mandi. Namun pada Selasa pagi, hujan semakin menggila. Sungai di dekat
permukiman meluap dan dalam hitungan menit merendam rumah-rumah warga. Jembatan
satu-satunya akses keluar desa terputus.
Kepanikan memuncak saat longsor dari arah bukit menghantam
bagian belakang gereja. Anak-anak menangis, teriakan bersahutan. Air banjir
merangsek masuk hingga setinggi hampir 90 sentimeter (cm). “Di depan banjir, di
belakang longsor. Satu-satunya jalan lari ke hutan,” tutur Arman, Rabu
(17/12/2025).
Arman mengambil alih kepemimpinan. Ia memandu warga menembus
hutan dengan insting dan kehati-hatian, memeriksa pijakan tanah menggunakan
telapak kaki demi memastikan jalur aman dari longsor susulan. Meski harus
melewati perbukitan rawan, Arman yakin itulah satu-satunya jalan selamat.
Setelah berjalan berjam-jam, rombongan menemukan area
relatif datar. Di sanalah 52 warga bertahan hidup dengan perlindungan seadanya
dari seng, spanduk, dan kayu. Selama sehari penuh, mereka tidak makan. Air
hujan menjadi satu-satunya sumber minum.
Harapan muncul ketika Arman menemukan buah nangka dan durian
muda yang berserakan akibat pohon tumbang. Biji durian dimakan mentah,
sedangkan biji nangka dibakar dengan ranting dan korek gas. “Kami bagi
satu-satu per orang,” katanya lirih.
Ketika hujan tak juga reda dan persediaan makanan habis,
Arman mengambil keputusan paling berbahaya, yaitu turun gunung sendirian
mencari bantuan. Meski dilarang para orang tua, termasuk ibunya, Arman tetap
berangkat.
Di tepi sungai, ia mendengar teriakan pemuda dari seberang,
ternyata anak-anak dari para pengungsi. Harapan kembali menyala.
Namun cobaan belum berakhir. Arman terperosok ke kubangan
lumpur dan nyaris tenggelam. Dengan sisa tenaga, ia meraih akar pohon dan
menggali lumpur dengan tangan kosong. “Di pikiranku cuma satu, aku tak boleh
mati di sini,” ujarnya.
Ia kemudian menghadapi sungai selebar sekitar 30 meter
dengan arus deras. Arman memilih menghanyutkan diri, sesekali berenang agar
terbawa ke tepi seberang. Tubuhnya membentur bebatuan, tetapi ia berhasil
selamat.
Bersama empat pemuda, Arman mengumpulkan uang Rp 200.000
untuk membeli beras. Setelah perjuangan panjang, mereka memperoleh tiga karung
beras ukuran 5 kilogram. Beras dimasak di rumah kosong dekat jalan raya, lalu
dibawa menyeberangi sungai menggunakan tali menyerupai sistem flying fox.
Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, para pengungsi
bisa makan nasi, meski tanpa lauk. Keesokan harinya, Arman kembali menyeberang
sungai. Kali ini misinya jelas, yaitu menyelamatkan seluruh pengungsi. Bersama
empat pemuda, ia memotong bambu besar dan merangkainya menjadi jembatan darurat
lengkap dengan tali pengaman.
Satu per satu, 52 warga berhasil dievakuasi. Tangis haru
pecah. Tidak satu pun korban jiwa dari rombongan tersebut. Seusai evakuasi,
warga berpencar mencari keluarga dan tempat berlindung. Arman dan keluarganya
berjalan kaki menuju Desa Sipange untuk mengungsi ke rumah kerabat.
Saat cuaca mulai membaik, Arman kembali menengok kampung
halamannya. Seluruh permukiman telah rata tertimbun material longsor. “Kami
sudah tak punya apa-apa. Kalau pemerintah bisa, mungkin dibangunkan tempat
tinggal,” ucapnya.
Berdasarkan data BPBD Sumatera Utara, bencana alam di 19
kabupaten/kota menyebabkan 360 orang meninggal dunia, 79 orang hilang, 2.284
orang luka-luka, dan 21.850 orang mengungsi. Pemerintah dan relawan masih terus
menyalurkan bantuan serta membuka akses wilayah terisolasi. “Semoga ini cepat
berlalu,” tutup Arman.