-->

Notification

×

Iklan

Iklan

banner 728x90

Indeks Berita

Tekad dan keberanian Arman Zebua (25) menjadi penentu hidup dan mati bagi 52 warga Desa Hutanabolon

Kamis, 18 Desember 2025 | Desember 18, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-17T19:29:08Z

Tekad dan keberanian Arman Zebua (25) menjadi penentu hidup dan mati bagi 52 warga Desa Hutanabolon, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), saat kampung mereka diterjang longsor dan banjir bandang. Dalam kondisi ekstrem, Arman nyaris tertimbun lumpur dan terseret arus sungai demi mencari bantuan dan mengevakuasi para pengungsi.

 


Bencana bermula pada Sabtu (22/12/2025). Sejak dini hari, hujan deras tanpa henti mengguyur wilayah Lorong 4, Desa Hutanabolon. Awalnya, warga tak terlalu khawatir karena hujan lebat lazim terjadi setiap akhir tahun.

Situasi berubah drastis ketika kabar longsor di perbukitan sekitar mulai terdengar. Menyadari ancaman serius, Arman segera mengajak keluarganya, ibu, abang, kakak ipar, dua keponakan, dan adiknya, mengungsi ke gereja di dataran lebih tinggi. Warga lain pun mengikuti langkah serupa.

Selama tiga hari, gereja menjadi tempat bertahan hidup. Meski hujan terus turun, warga masih sempat bolak-balik ke rumah untuk memasak dan mandi. Namun pada Selasa pagi, hujan semakin menggila. Sungai di dekat permukiman meluap dan dalam hitungan menit merendam rumah-rumah warga. Jembatan satu-satunya akses keluar desa terputus.

 

Kepanikan memuncak saat longsor dari arah bukit menghantam bagian belakang gereja. Anak-anak menangis, teriakan bersahutan. Air banjir merangsek masuk hingga setinggi hampir 90 sentimeter (cm). “Di depan banjir, di belakang longsor. Satu-satunya jalan lari ke hutan,” tutur Arman, Rabu (17/12/2025).

Arman mengambil alih kepemimpinan. Ia memandu warga menembus hutan dengan insting dan kehati-hatian, memeriksa pijakan tanah menggunakan telapak kaki demi memastikan jalur aman dari longsor susulan. Meski harus melewati perbukitan rawan, Arman yakin itulah satu-satunya jalan selamat.

 

Setelah berjalan berjam-jam, rombongan menemukan area relatif datar. Di sanalah 52 warga bertahan hidup dengan perlindungan seadanya dari seng, spanduk, dan kayu. Selama sehari penuh, mereka tidak makan. Air hujan menjadi satu-satunya sumber minum.

 

Harapan muncul ketika Arman menemukan buah nangka dan durian muda yang berserakan akibat pohon tumbang. Biji durian dimakan mentah, sedangkan biji nangka dibakar dengan ranting dan korek gas. “Kami bagi satu-satu per orang,” katanya lirih.

Ketika hujan tak juga reda dan persediaan makanan habis, Arman mengambil keputusan paling berbahaya, yaitu turun gunung sendirian mencari bantuan. Meski dilarang para orang tua, termasuk ibunya, Arman tetap berangkat.

 

Di tepi sungai, ia mendengar teriakan pemuda dari seberang, ternyata anak-anak dari para pengungsi. Harapan kembali menyala.

 

Namun cobaan belum berakhir. Arman terperosok ke kubangan lumpur dan nyaris tenggelam. Dengan sisa tenaga, ia meraih akar pohon dan menggali lumpur dengan tangan kosong. “Di pikiranku cuma satu, aku tak boleh mati di sini,” ujarnya.

 

Ia kemudian menghadapi sungai selebar sekitar 30 meter dengan arus deras. Arman memilih menghanyutkan diri, sesekali berenang agar terbawa ke tepi seberang. Tubuhnya membentur bebatuan, tetapi ia berhasil selamat.

 

Bersama empat pemuda, Arman mengumpulkan uang Rp 200.000 untuk membeli beras. Setelah perjuangan panjang, mereka memperoleh tiga karung beras ukuran 5 kilogram. Beras dimasak di rumah kosong dekat jalan raya, lalu dibawa menyeberangi sungai menggunakan tali menyerupai sistem flying fox.

 

Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, para pengungsi bisa makan nasi, meski tanpa lauk. Keesokan harinya, Arman kembali menyeberang sungai. Kali ini misinya jelas, yaitu menyelamatkan seluruh pengungsi. Bersama empat pemuda, ia memotong bambu besar dan merangkainya menjadi jembatan darurat lengkap dengan tali pengaman.

Satu per satu, 52 warga berhasil dievakuasi. Tangis haru pecah. Tidak satu pun korban jiwa dari rombongan tersebut. Seusai evakuasi, warga berpencar mencari keluarga dan tempat berlindung. Arman dan keluarganya berjalan kaki menuju Desa Sipange untuk mengungsi ke rumah kerabat.

 

Saat cuaca mulai membaik, Arman kembali menengok kampung halamannya. Seluruh permukiman telah rata tertimbun material longsor. “Kami sudah tak punya apa-apa. Kalau pemerintah bisa, mungkin dibangunkan tempat tinggal,” ucapnya.

 

Berdasarkan data BPBD Sumatera Utara, bencana alam di 19 kabupaten/kota menyebabkan 360 orang meninggal dunia, 79 orang hilang, 2.284 orang luka-luka, dan 21.850 orang mengungsi. Pemerintah dan relawan masih terus menyalurkan bantuan serta membuka akses wilayah terisolasi. “Semoga ini cepat berlalu,” tutup Arman.


×
Berita Terbaru Update