Notification

×

Iklan

Iklan

banner 728x90

Indeks Berita

Kehidupan Nelayan di Desa Namo Buaya, Kecamatan Sultan Daulat dan Muara Batu-Batu

Sabtu, 17 Mei 2025 | Mei 17, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-16T17:18:55Z

  Kehidupan Nelayan di Desa Namo Buaya, Kecamatan Sultan Daulat dan Muara Batu-Batu, Kecamatan Rundeng Kota Subulussalam terancam.



Hal ini karena, beberapa waktu lalu banyak ikan tewas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Rikit dan Muara Batu-Batu, diduga akibat tercemar limbah perusahaan.

Hasil Uji Laboratorium yang dikirim Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Subulussalam ke LAB Kimia Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh pekan lalu masih menunggu.Warga menuntut pertanggung jawaban atas kematian ikan tersebut karena berdampak kepada masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari nelayan.

Tuntutan ini disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat Subulussalam dengan masyarakat nelayan Batu-Batu, Namo Buaya, Kepala Mukim, Kepala Desa, Sekda, Asisten II Bidang Perekonomian, DLHK, DPMPTSP, Camat dan PT Sawit Mandiri Bersama II, pada Jum’at (16/5/2025) siang.

Hasbi Bancin, perwakilan dari Desa Muara Batu-Batu menyebutkan terkait ikan mati yang dipertontonkan tidak bisa dibiarkan.

Dia meminta perusahaan agar segera mengganti konpensasi kepada masyarakat yang menggantungkan hidup dari nelayan.

“Apakah ini kita biarkan, jika kita biarkan, sampai kapan perusahaan ini memutus mata rantai pencarian di Desa Muara Batu-Batu pada khususnya.

Jadi, kami meminta kepada pihak perusahaan untuk segera mengganti konpensasi kepada masyarakat,” tegas Hasbi.

Kemudian Sarbaini Lembong memohon kepada DPRK sebagai lembaga perwakilan rakyat dan pemerintah daerah menanggapi keluh-kesah mereka sebagai nelayan yang berharap hasil dari ikan di sela-sela mengurus kebun di Pinggiran Sungai.

“Dalam pertemuan ini, kami memohon agar kami yang berusaha di Pinggiran Sungai jangan teraniaya.

Sejak nenek moyang kami, Sungai Lae Batu-Batu tidak pernah tercemar,” ucap Sarbaini perwakilan dari Sultan Daulat.

Dia menceritakan akibat pencemaran tersebut sangat berdampak kepada masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari Sungai Lae Batu-Batu itu.

RDP berlangsung di Ruang Banggar DPRK itu sempat memanas.

Namun belum ada kesimpulan, lantaran sampel yang dikirim ke Laboratorium Kimia Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh belum keluar karena memerlukan waktu 14 hari kerja.

Sementara itu, pihak perusahaan PT MSB II membantah tuduhan kepada perusahaan mereka yang mencemari Lae Batu-Batu.

Disebutkan bahwa pihak perusahaan tidak pernah membuang Limbah ke Sungai Lae Batu-Batu.

×
Berita Terbaru Update