Tingginya biaya investasi dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi hambatan utama dalam meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Biaya tinggi tersebut tidak hanya dipicu oleh suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang masih tinggi, tetapi juga oleh praktik premanisme, baik yang dilakukan oleh oknum aparat maupun preman di lapangan.
"Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan ekonomi berbiaya tinggi (high-cost economy), sehingga minat investor untuk menanamkan modal di dalam negeri menjadi rendah," ujar Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, Senin (12/5/2025).
Nailul menjelaskan, selain bunga tinggi, tingginya biaya investasi juga disebabkan oleh pungutan liar yang kerap muncul dalam proses perizinan. Pungutan ini, meski tidak resmi, tetap harus dibayarkan investor demi kelancaran proyek."Biaya itu seharusnya tidak ada, tetapi tetap harus dikeluarkan sebagai bagian dari proses perizinan tidak resmi," ungkapnya.
Hal ini berdampak langsung pada tingginya nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia dibandingkan negara tetangga. Artinya, untuk menghasilkan satu rupiah Produk Domestik Bruto (PDB), investasi yang dibutuhkan jauh lebih besar, yang menunjukkan rendahnya efisiensi ekonomi nasional.
"Nilai investasi yang harus dikeluarkan di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan negara tetangga, menandakan efisiensi kita masih rendah," lanjutnya.
Ia juga menyoroti praktik pungli dan premanisme membuat banyak investor asing mengurungkan niatnya. Ketika ketertiban hukum tidak ditegakkan, kepercayaan investor akan menurun drastis.
"Ketika premanisme dibiarkan, pemerintah Indonesia justru kalah oleh preman. Banyak investor akhirnya memutuskan untuk mundur," tegas Nailul.
Selain masalah biaya, kualitas SDM juga menjadi tantangan besar. Indeks Modal Manusia (Human Capital Index) Indonesia masih tertinggal dari Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Kesenjangan ini terutama terlihat pada aspek inovasi yang sangat penting bagi perusahaan teknologi global
Akibatnya, perusahaan-perusahaan teknologi lebih memilih menanamkan modal di negara dengan SDM unggul dan iklim investasi yang kondusif. Kombinasi antara biaya tinggi dan kualitas SDM rendah memperlemah daya saing Indonesia dalam menarik investasi asing secara berkelanjutan.
"Banyak perusahaan teknologi global kini memilih Vietnam dan Malaysia sebagai tujuan investasi, bukan Indonesia," pungkas Nailul.