Di tengah kehancuran akibat perang dan blokade berkepanjangan, warga Palestina di Jalur Gaza berjuang keras untuk merayakan Iduladha, salah satu hari raya paling penting dalam Islam, pada Kamis (5/6/2025).
Dalam tradisi Hari Raya Kurban atau Iduladha, umat Islam menyembelih hewan ternak seperti domba atau sapi, membagikan sebagian dagingnya kepada fakir miskin, dan merayakan bersama keluarga dengan hidangan manis dan pakaian baru. Namun, di Gaza, daging segar tak tersedia selama tiga bulan terakhir akibat blokade Israel.
Blokade tersebut diberlakukan untuk menekan Hamas agar membebaskan sandera sejak serangan 7 Oktober 2023 yang memicu perang. Akibatnya, hampir semua hewan ternak lokal , termasuk domba, kambing, dan sapi yang tewas karena serangan udara dan darat Israel yang telah berlangsung selama lebih dari 20 bulan.Di kamp pengungsian besar di Muwasi, bagian selatan pesisir Gaza, hanya tersisa beberapa hewan yang dijual di kandang darurat. Namun, harga yang tinggi membuat warga tak mampu membeli.
"Saya bahkan tidak bisa membeli roti, apalagi daging atau sayur," keluh Abdel Rahman Madi.
"Harganya selangit," keluhnya.
Makna spiritual Iduladha adalah memperingati kesediaan Nabi Ibrahim (Abraham) mengorbankan putranya demi ketaatan kepada Allah, biasanya membawa kegembiraan, terutama bagi anak-anak. Namun di Gaza, suasana hari raya nyaris hilang. Anak-anak hanya bisa tertawa melihat hewan-hewan kurban tanpa mampu membelinya.
Harga kebutuhan pokok melonjak tajam di tengah blokade yang baru sedikit dilonggarkan dua minggu lalu. Pasokan daging, buah, dan sayur segar hampir hilang dari pasar. Di Khan Younis, pasar jalanan hanya menjual mainan berbentuk domba dan pakaian bekas. Sebagian besar warga pulang tanpa membawa apa pun karena harga yang tidak terjangkau.
“Dulu suasana Iduladha meriah, anak-anak senang. Namun sekarang tidak ada tepung, tidak ada pakaian, tidak ada kegembiraan,” ujar Hala Abu Nqeira, seorang ibu yang sedang mencari kebutuhan pokok.
“Kami keluar setiap hari hanya untuk mencari tepung dengan harga masuk akal," katanya.
Perang telah menghancurkan ketahanan pangan Gaza. Menurut laporan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) pekan ini, 96 persen ternak dan 99 persen unggas telah mati, sementara 95 persen lahan pertanian rusak atau berada di zona militer yang tidak dapat diakses.
Israel sempat melarang semua makanan dan bantuan masuk ke Gaza selama lebih dari dua bulan. Meski blokade dilonggarkan baru-baru ini, dan beberapa truk bantuan masuk melalui PBB, distribusi terhambat oleh pembatasan militer dan penjarahan.
Lebih dari dua juta warga Palestina kini mengungsi dan sebagian besar harus berpindah tempat berkali-kali demi menghindari serangan.
Rasha Abu Souleyma, salah seorang pengungsi, sempat menyelinap kembali ke rumahnya di Rafah untuk mengambil beberapa barang yang tertinggal. Ia kembali membawa pakaian lama, kacamata plastik merah muda, dan gelang untuk kedua putrinya sebagai hadiah Iduladha.
“Saya tidak bisa membelikan mereka baju baru atau makanan enak. Dulu saya membawa daging saat hari raya agar mereka senang. Sekarang roti pun sulit,” ujarnya.
Di tengah reruntuhan, anak-anak berusaha menikmati hari raya dengan bermain di ayunan darurat yang terbuat dari tali.
Karima Nejelli, pengungsi dari Rafah, mengatakan, selama empat hari raya terakhir, termasuk dua kali Idulfitri dan dua kali Iduladha sejak perang, ia dan keluarga tidak pernah benar-benar merayakan apa pun. "Tidak ada kurban, tidak ada kue, tidak ada pakaian baru," ujarnya.