Serangan udara dan tembakan dari Israel menewaskan sedikitnya 140 orang di seluruh Jalur Gaza dalam 24 jam terakhir. Warga Gaza mengungkapkan keprihatinan bahwa penderitaan mereka kini terlupakan, karena perhatian dunia beralih pada perang udara antara Israel dan Iran.
Otoritas kesehatan Gaza melaporkan bahwa sekitar 40 dari korban tewas merupakan akibat serangan udara dan tembakan Israel pada Rabu (19/6/2025). Sebagian besar dari mereka merupakan warga sipil yang sedang mencari bantuan, sebuah pola yang terus terjadi sejak Israel mencabut blokade total di wilayah tersebut tiga minggu lalu.
Serangan udara terhadap sejumlah rumah di Kamp Pengungsi Maghazi, kawasan Zeitoun, dan Kota Gaza dilaporkan menewaskan sedikitnya 21 orang. Sementara itu, lima orang lainnya tewas dalam serangan udara terhadap kamp di Khan Younis, Gaza selatan.
Selain itu, 14 warga Palestina dilaporkan tewas akibat tembakan Israel yang menyasar kerumunan orang yang sedang menunggu truk bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di jalan Salahuddin, Gaza tengah.
Menanggapi insiden di jalan Salahuddin, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan zona tempur aktif dan warga telah berulang kali diperingatkan. Mereka mengeklaim telah melepaskan tembakan peringatan terhadap warga yang dianggap mendekati pasukan secara mengancam, serta menambahkan bahwa mereka tidak menyadari adanya korban jiwa dalam insiden tersebut.
IDF juga menyatakan bahwa operasi militer mereka ditujukan untuk melumpuhkan kemampuan militer Hamas, dan bahwa mereka telah mengambil langkah pencegahan untuk meminimalisasi korban sipil.
Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza pada Rabu kemarin, setidaknya 397 warga Palestina tewas dan lebih dari 3.000 terluka saat mencoba mendapatkan bantuan makanan sejak pengiriman bantuan kembali dimulai pada akhir Mei 2025.
Beberapa warga Gaza menyampaikan kekhawatiran bahwa eskalasi konflik Israel-Hamas yang telah berlangsung sejak Oktober 2023 kini terabaikan karena dunia lebih fokus pada konflik baru antara Israel dan Iran.
“Orang-orang dibantai di Gaza siang dan malam, tetapi perhatian dunia beralih ke perang Iran-Israel. Berita tentang Gaza kini sangat sedikit,” kata Adel, warga Kota Gaza.
“Siapa yang tidak mati karena bom, mati karena kelaparan. Orang-orang mempertaruhkan nyawa demi sekarung tepung, hanya untuk terbunuh dan berlumuran darah,” tambahnya.
Israel kini menyalurkan sebagian besar bantuan ke Gaza melalui Yayasan Kemanusiaan Gaza, kelompok yang didukung oleh AS dan Israel. Yayasan ini menggunakan perusahaan keamanan dan logistik swasta serta mengoperasikan titik distribusi di wilayah yang dikawal pasukan Israel.
Israel bersikeras bantuan tidak boleh sampai ke tangan Hamas. Sementara itu, Hamas membantah tuduhan penyalahgunaan bantuan dan menuduh Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang.
Kepala UNRWA, Philippe Lazzarini, mengecam sistem distribusi bantuan saat ini sebagai aib dan noda pada kesadaran kolektif.
Program Pangan Dunia (WFP) menyerukan peningkatan besar dalam distribusi makanan di Gaza. Dalam empat minggu terakhir, hanya 9.000 metrik ton bantuan yang berhasil dikirim, jumlah yang dianggap sangat tidak memadai.
“Ketakutan akan kelaparan membuat warga berkumpul di sepanjang jalur distribusi umum, berharap bisa mengakses bantuan saat sedang dibawa,” kata WFP.
“Kekerasan yang membunuh orang-orang kelaparan saat mencari bantuan adalah tindakan yang sama sekali tidak dapat diterima,” tegas mereka.
Warga Gaza kini mengikuti secara cermat perkembangan konflik udara antara Israel dan Iran. Meski sebagian berharap Israel mendapat balasan, banyak yang menginginkan akhir bagi perang yang berlangsung di wilayah mereka.
“Melihat Israel diserang mungkin terasa seperti balasan, tetapi nyawa puluhan warga Gaza juga hilang setiap harinya,” kata Shaban Abed, ayah lima anak dari Gaza utara.
Kami hanya ingin solusi menyeluruh yang dapat mengakhiri perang ini. Kami benar-benar telah dilupakan," katanya.