Oleh: Wilson Lalengke
Jakarta - Hukum pencemaran nama baik dirancang untuk melindungi individu dari pernyataan palsu yang merusak reputasi dan kehormatan seseorang. Meskipun niat di balik hukum ini tampak mulia, yakni melindungi orang dari fitnah dan informasi bohong (hoaks), namun konsep pencemaran nama baik penuh dengan kelemahan logis, inkonsistensi dalam praktek, bahkan berimplikasi pada logika berpikir yang sesat (logical fallacy).
Di era di mana kebebasan berekspresi merupakan landasan utama masyarakat demokratis, gagasan pencemaran nama baik menimbulkan pertanyaan krusial tentang kebenaran, subjektivitas, dan batasan ucapan. Kebenaran adalah kualitas kesesuaian dengan fakta atau realitas, yang mewakili kejujuran, ketepatan, dan informasi yang asli serta dapat diverifikasi. Kebenaran melampaui dan harus menjadi acuan logika di atas subyektivitas dan setiap ucapan, termasuk tulisan serta bentuk ekpresi lainnya.
Dalam konteks aktual, fenomena tuduhan pencemaran nama baik yang dilaporkan mantan Presiden Joko Widodo terhadap para pengkritiknya merupakan contoh kongkrit yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan: apakah konsep hukum pencemaran nama baik masih relevan diterapkan di negara Indonesia yang menjunjung tinggi kehidupan demokrasi? Ataukah Indonesia lebih cocok menerapkan sistim otoritarianisme yang menihilkan kritik dari rakyatnya?
Inti dari pencemaran nama baik terletak pada gagasan bahwa reputasi seseorang adalah bentuk properti atau harta-benda yang dapat dirusak oleh kata-kata. Padahal, reputasi hakekatnya bersifat subjektif. Reputasi tidak ada pada individu, tetapi di benak alias persepsi orang lain.
Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimanakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas cara pihak lain mempersepsikan suatu pernyataan atau kata-kata? Faktanya, persepsi setiap orang terhadap sebuah ucapan dan atau tulisan dan atau ekspresi berbeda antara satu dengan yang lain. Mungkin penilaian umum atau common sense dapat menyimpulkan sebuah persepsi, tetapi common sense tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menentukan sebuah kebenaran.
Tuduhan penggunaan ijazah palsu, misalnya, ditanggapi berbeda oleh mantan Presidedn Joko Widodo dan Hakim Mahkamah Konstitusi, Asrul Sani. Yang satu memenjarakan penuduh karena dianggap mencemarkan nama baik, sementara yang satunya menganggap hal itu sebagai sebuah pertanyaan yang menuntut kebenaran dan wajib dijawab dengan bukti faktual.
Berbeda dengan kerugian fisik, yang dapat diukur dan diverifikasi, kerugian reputasi bersifat kabur. Apa yang menyinggung bagi seseorang mungkin diabaikan oleh orang lain. Hukum yang berupaya mengukur kerugian yang tidak dapat diukur ini, seringkali bergantung pada penilaian spekulatif tentang tekanan emosional atau status sosial. Subjektivitas tersebut membuka pintu lebar-lebar bagi penilaian sewenang-wenang dan putusan hukum yang tidak konsisten, bahkan sesat.
Di banyak yurisdiksi, kebenaran dianggap sebagai pembelaan mutlak terhadap aduan pencemaran nama baik. Jika suatu pernyataan alias tuduhan adalah benar, akurat dan faktual, maka pernyataan tersebut tidak dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik, terlepas dari seberapa merugikannya. Konsep ini menimbulkan konsekwensi logis sebaliknya: hukum harus melindungi orang dari kerusakan reputasi terhadap pernyataan (tuduhan) yang salah.
Hal ini menimbulkan dilema etis. Bagaimana dengan pernyataan atau tuduhan yang secara teknis benar tetapi disajikan dalam konteks yang menyesatkan atau jahat? Sifat biner (bermata dua) dari kebenaran sebagai pembelaan dalam hukum selalu gagal memperhitungkan kompleksitas komunikasi, di mana nada, implikasi, dan pengungkapan dengan cara tertentu, dapat menimbulkan kerugian yang sama dengan pernyataan yang tidak benar atau bohong.
Pada kasus ijazah Jokowi, kita dapat melihat kebingungan hukum pencemaran nama baik saat berhadapan dengan dua penyajian pernyataan (tuduhan) yang dilakukan oleh dua pihak: Bambang Tri Cs dan Roy Suryo Cs. Bambang Tri menyajikan pernyataan berdasarkan hasil investigasi jurnalistik, sementara Roy Suryo menyajikan tuduhan yang sama melalui hasil penelitian ilmiah. Jika merujuk kepada penerapan hukum pencemaran nama baik yang menimpa Bambang Tri Cs, maka penerapan hukum Roy Cs semestinya tidak berbeda, betapa pun penyajian pernyataannya yang ilmiah, secara hukum dinyatakan benar.
Mungkin kritik paling signifikan terhadap undang-undang pencemaran nama baik, baik yang diatur dalam UU ITE maupun KUHP, adalah potensinya untuk membungkam kebebasan berekspresi. Ketakutan dituntut karena pencemaran nama baik dapat menghalangi individu untuk berbicara tentang masalah kepentingan publik, terutama ketika tokoh atau lembaga yang berpengaruh terlibat. Efek menghambat ini sangat terasa dalam jurnalisme, akademisi, dan aktivisme, di mana diskursus kritis merupakan roh fundamental yang melekat pada mereka.
Di banyak kasus, kebebasan menyampaikan kebenaran atas sebuah peristiwa justru telah dihambat sejak tahap pencarian dan pengumpulan fakta lapangan. Kasus perampasan dan perusakan peralatan liputan wartawan di Aceh oleh personil militer baru-baru ini merupakan bukti bahwa banyak pihak alergi terhadap terungkapnya sebuah kebenaran ke publik, yang dianggap akan menurunkan reputasi pribadi, kelompok, dan atau lembaga.
Selain itu, biaya pembelaan hukum yang mahal dalam kasus pencemaran nama baik mempengaruhi keberanian kritis masyarakat yang memiliki sumber daya minim. Individu dan perusahaan kaya dapat menggunakan gugatan pencemaran nama baik sebagai senjata untuk membungkam para pemikir kritis, terlepas dari kebenaran pernyataan mereka. Kebenaran akhirnya terkubur oleh sumber daya melimpah yang dimiliki para pihak yang dikritisi. Terlebih lagi dalam sistem hukum yang korup dan institusi-institusi penegak hukum yang dipenuhi personil bermental penyamun seperti di NKRI (Negara Kepolisian-Kejaksaan-Kehakiman Republik Indonesia).
Fenomena di atas ini, yang dikenal sebagai kiat penggunaan hukum dalam melawan suara rakyat (Strategic Lawsuit Against Public Participation - SLAPP), mencerminkan bahwa penggunaan undang-undang dan hukum pencemaran nama baik dapat dieksploitasi untuk menekan perbedaan pendapat. Pada kasus ijazah palsu, juga kasus korupsi dan tindak pidana lainnya yang terpublikasi, SLAPP teramat sering dijalankan oleh para pihak terkait, terutama oleh yang merasa nama baiknya tercemar, bekerja sama dengan para oknum penegak hukum.
Hukum pencemaran nama baik seringkali bergantung pada niat seseorang (pembicara, penulis, illustrator) dan interpretasi audiens. Apakah pernyataan itu dibuat dengan niat baik atau jahat? Akankah “orang waras” menafsirkannya sebagai pencemaran nama baik? Pertanyaan-pertanyaan ini pada dasarnya ambigu dan terbuka untuk interpretasi subjektif.
Ambiguitas itu menciptakan ketidakpastian hukum. Satire, parodi, dan hiperbola, sebagai bentuk ekspresi yang dilindungi di banyak masyarakat demokratis, dapat dengan mudah disalahartikan sebagai fitnah. Garis antara opini dan pernyataan fakta tidak selalu jelas, dan pengadilan dibiarkan menavigasi perairan yang keruh dengan kemampuan personal dan subyektivitas para hakim. Dengan demikian, mereka lebih berperan sebagai penentu selera, nada, dan warna kebenaran, daripada penegak keadilan.
Kasus hukum Bambang Tri Cs versus Jokowi, termasuk proses hukum yang sedang berjalan di beberapa lembaga pengadilan saat ini dalam kasus dugaan ijazah palsu, menjadi ajang pertaruhan niat memperjuangkan kebenaran melawan perbedaan interprestasi dan hukum pencemaran nama baik. Pada kondisi yang penuh ambigu ini, para penegak hukum pasti sedang bergerilya mencari dalil-dalil pembenaran atas putusan yang akan mereka ambil.
Apa yang dianggap sebagai fitnah sangat bervariasi di berbagai budaya dan periode waktu. Sebuah pernyataan yang dianggap memfitnah di satu masyarakat mungkin dianggap tidak berbahaya, atau bahkan terpuji, di masyarakat lain. Relativitas budaya ini melemahkan universalitas fitnah sebagai konsep hukum.
Norma reputasi berkembang dari waktu ke waktu, juga berubah seiring berjalannya waktu. Tokoh publik yang dulunya dicemarkan oleh perceraian atau perbedaan pendapat politik kini mungkin dirayakan karena kemandirian mereka. Hukum pencemaran nama baik, yang berakar pada gagasan statis tentang kehormatan dan rasa malu, tidak luput dari perubahan mengikuti perubahan nilai-nilai sosial.
Tidak sedikit orang menjadi figur publik akibat sebuah pemberitaan yang awalnya dianggap sebagai pencemaran nama baik. Bahkan mantan Presiden SBY justru memetik hasil gemilang, mendapatkan simpati publik dan terpilih sebagai presiden, dari pemberitaan tendensius yang menstigmatisinya sebagai ‘jenderal kancil’ dan ketidak-becusannya sebagai menteri yang didepak oleh Megawati di masa lalu.
Di era digital, hukum pencemaran nama baik menghadapi krisis eksistensial. Informasi menyebar secara global dalam hitungan detik, seringkali secara anonim dan tidak dapat diubah. Bahkan jika pernyataan yang bersifat mencemarkan nama baik terbukti salah dan ditarik kembali secara hukum, kerusakan mungkin sudah terjadi. Efek Streisand atau penghambatan dan penyensoran, yang bertujuan untuk menekan penyebaran sebuah informasi, justru memperkuat visibilitas dan mempercepat penyebarannya. Hal itu membuktikan bahwa strategi streisand bukan cara yang efektif dalam mengendalikan narasi.
Selain itu, sifat global internet mempersulit penerapan hukum pencemaran nama baik. Pernyataan yang dianggap berisi pencemaran nama baik yang dibuat di satu negara, mungkin dapat ditindaklanjuti secara hukum, tapi tidak di negara dengan standar pencemaran nama baik yang berbeda. Ini menciptakan jurang penerapan hukum yang amat dalam di antara warga negara, terutama para netizen pembuat konten dan platform.
Meskipun keinginan untuk melindungi individu dari kerusakan reputasi dapat dipahami, konsep pencemaran nama baik penuh dengan kelemahan logis dan kesesatan berpikir serta menimbulkan ketidakadilan di tataran praktek. Dalam kasus ijazah Jokowi, ketergantungan pembuktian pada kerugian subjektif yang sangat sumir, kontradisi dengan kebebasan berbicara yang menjadi fondasi negara demokrasi, dan kerentanannya terhadap penyalahgunaan kewenangan para penegak hukum, semestinya menjadi landasan berpikir baru dan progresif untuk menelaah kembali penerapan hukum pencemaran nama baik.
Seiring masyarakat Indonesia yang terus bergulat dengan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kewajiban akuntabilitas publik, mungkin sudah saatnya untuk mempertimbangkan kembali keberadaan undang-undang pencemaran nama baik dalam tata hukum di negeri ini. Jika hukum hadir untuk mempersembahkan keadilan, maka seyogyanya subyektivitas dan persepsi, plus keyakinan hakim (di pengadilan) tidak menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. (*)
Penulis adalah petisioner HAM pada Komite Keempat Perserikatan Bangsa-Bangsa, Oktober 2025; Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012