Notification

×

Iklan

Iklan

banner 728x90

Indeks Berita

Kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Maqdir Ismail menilai tuntutan 7 tahun penjara terhadap kliennya dalam kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR 2019-2024

Jumat, 04 Juli 2025 | Juli 04, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-03T18:58:47Z

  Kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Maqdir Ismail menilai tuntutan 7 tahun penjara terhadap kliennya dalam kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR 2019-2024 dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku merupakan bentuk kriminalisasi politik. 



“Perkara ini bukan kejahatan murni, tetapi ini adalah seperti berulang kali kami katakan, ini adalah perkara politik yang dikriminalkan. Ini adalah kriminalisasi politik agar supaya ini bisa dituntut dengan tuntutan yang tinggi, diciptakanlah pasal apa yang disebut dengan obstruction of justice," ujar Maqdir kepada wartawan seusai pembacaan sidang tuntutan terhadap Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025).

Maqdir mempertanyakan alat bukti yang digunakan jaksa, khususnya soal data call detail record (CDR) yang dianggap tidak logis dan mencederai akal sehat."Kalau mereka mau jujur, penuntut umum itu mereka juga harusnya mengakui bahwa kalau satu hal yang terkait dengan CDR yang mereka katakan, mereka tidak pernah mau ungkap bahwa perjalanan Harun Masiku dari Jakarta Barat sampai ke Tanah Abang hanya dalam waktu satu detik. Ini sesuatu yang betul-betul sangat mencederai akal sehat," jelas Maqdir.

Maqdir juga menuding ada manipulasi terhadap bukti-bukti elektronik, termasuk soal keberadaan Harun Masiku di PTIK bersama Nurhasan. Menurut dia, hal tersebut tidak mungkin terjadi mengingat waktu tempuh yang tidak masuk akal di Jakarta pada malam hari.

“Kalau kita lihat betul secara baik bagaimana perjalanan yang disebut sebagai perjalanan dari Harun Masiku bersama-sama dengan Nurhasan dari Menteng dengan berputar-putar sampai kemudian mereka katakan berada di PTIK hanya dalam waktu sekitar 30–35 menit, dalam kondisi pukul sekitar pukul 20.17 WIB, atau sesudah 17-an, itu tidak mungkin di Jakarta ini kita bisa jalan,” tuturnya.

Maqdir menilai pembuktian perkara itu didasarkan pada asumsi atau imajinasi penyidik, terlebih ketika saksi seperti Nurhasan sudah membantah tuduhan keterlibatan. 

Dia menilai kasus ini tak bisa dilepaskan dari dinamika internal partai dan kepentingan kekuasaan, termasuk ketika ada pihak yang meminta Hasto mundur dari jabatan sekjen PDIP.

"Pembuktian itu adalah berdasarkan keterangan saksi, bukan berdasarkan imajinasi atau asumsi," pungkas Maqdir.

Sebelumnya, jaksa KPK menuntut Hasto Kristiyanto dijatuhi hukuman penjara selama 7 tahun karena meyakini sekjen PDIP itu terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suap dalam pengurusan PAW Harun Masiku dan perintangan penyidikan oleh KPK.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar 600 juta subsider pidana kurungan pengganti selama 6 bulan," ujar Jaksa KPK, Wawan Yunarwanto dalam amar tuntutannya, Kamis (3/7/2024).

Hasto dinyatakan bersama dengan advokat Donny Tri Istiqomah, eks kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah melakukan suap sebesar Rp 600 juta kepada komisioner KPU Wahyu Setiawan pada rentang waktu 2019-2020. Tujuannya, agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan PAW anggota DPR dapil Sumatera Selatan (Sumsel) I dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.  

Hasto juga dinyatakan menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun Masiku, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan dan kawan-kawan.  

Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.  

Hasto dinyatakan melanggar Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

×
Berita Terbaru Update