-->

Notification

×

Iklan

Iklan

banner 728x90

Indeks Berita

Para peneliti di Penn State mengembangkan sensor berbasis napas yang dapat menjadi cara cepat, mudah, dan tanpa rasa sakit untuk mendiagnosis diabetes

Selasa, 02 September 2025 | September 02, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-01T19:41:25Z

 Para peneliti di Penn State mengembangkan sensor berbasis napas yang dapat menjadi cara cepat, mudah, dan tanpa rasa sakit untuk mendiagnosis diabetes. Sensor ini dibuat melalui teknik yang pada dasarnya “memanggang” polimer hingga berubah menjadi graphene berpori.



Menurut Centers for Disease Control (CDC), dikutip New Atlas, Senin (1/9/2025) dari 38 juta orang yang menderita diabetes, sekitar satu dari lima orang bahkan tidak menyadari kondisinya. Sementara itu, bagi mereka yang memiliki prediabetes, kadar gula darah lebih tinggi dari normal, sekitar delapan dari sepuluh orang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, metode tes baru yang praktis sangat dibutuhkan agar orang bisa melakukan perubahan gaya hidup, baik untuk mengobati maupun mencegah diabetes.

Saat ini, tes diabetes biasanya dilakukan melalui darah di laboratorium atau klinik. Tes paling umum memerlukan puasa semalam, sementara pemeriksaan lebih lanjut bisa memakan waktu beberapa hari. Beberapa penelitian mencoba mendeteksi diabetes melalui keringat, tetapi metode ini kurang praktis karena membutuhkan olahraga atau sauna, dan belum tersedia secara luas.

Untuk menghadirkan alternatif yang lebih mudah, tim Penn State fokus pada penanda diabetes dalam napas, khususnya asetona. Zat ini merupakan produk samping pembakaran lemak. Jika kandungan asetona dalam napas melebihi 1,8 bagian per juta (ppm), itu bisa menjadi indikasi diabetes.

Saat ini, tes diabetes biasanya dilakukan melalui darah di laboratorium atau klinik. Tes paling umum memerlukan puasa semalam, sementara pemeriksaan lebih lanjut bisa memakan waktu beberapa hari. Beberapa penelitian mencoba mendeteksi diabetes melalui keringat, tetapi metode ini kurang praktis karena membutuhkan olahraga atau sauna, dan belum tersedia secara luas.

Untuk menghadirkan alternatif yang lebih mudah, tim Penn State fokus pada penanda diabetes dalam napas, khususnya asetona. Zat ini merupakan produk samping pembakaran lemak. Jika kandungan asetona dalam napas melebihi 1,8 bagian per juta (ppm), itu bisa menjadi indikasi diabetes.

“Sensor lain yang mendeteksi glukosa lewat keringat memerlukan olahraga, bahan kimia, atau sauna, yang tidak selalu praktis,” kata peneliti utama Huanyu ‘Larry’ Cheng. 

“Sensor kami hanya perlu Anda hembuskan napas ke dalam kantong, celupkan sensor, dan tunggu beberapa menit untuk hasilnya,” sambungnya,. 

Untuk membuat sensor, tim menggunakan laser karbon dioksida untuk membakar lembaran film polyimide, mengubahnya menjadi graphene berpori. “Ini mirip memanggang roti hingga menjadi karbon hitam jika terlalu lama. Dengan menyesuaikan kekuatan dan kecepatan laser, kita bisa mengubah polyimide menjadi graphene berlapis dan berpori," jelas Cheng, 

Lubang-lubang pada graphene menangkap molekul gas asetona. Namun, graphene saja tidak cukup selektif, sehingga tim menambahkan saringan molekuler dari zinc oxide dan membran penahan molekul air dari napas. Hasilnya adalah strip tipis yang sangat sensitif, bisa mendeteksi diabetes dan prediabetes, serta dapat digunakan ulang setelah istirahat hanya 23 detik.

Saat ini pasien masih perlu meniup napas ke kantong, tetapi peneliti berencana mengembangkan sensor yang bisa dipasang di bawah hidung atau bahkan di masker, sehingga tes menjadi lebih mudah. Sensor ini juga berpotensi digunakan untuk diagnosis kesehatan lain.

“Jika kita bisa memahami bagaimana kadar asetona dalam napas berubah sesuai diet dan olahraga, mirip fluktuasi glukosa berdasarkan waktu dan jenis makanan, ini akan membuka peluang menarik untuk aplikasi kesehatan selain diagnosis diabetes,” tutup Cheng.

×
Berita Terbaru Update