Sebuah restoran mi di Kota Yeosu, Korea Selatan, memicu perdebatan nasional setelah memasang papan bertuliskan “kami tidak menjual kesepian” yang berisi aturan penolakan terhadap pelanggan yang datang sendirian. Foto papan itu pertama kali diunggah oleh seorang pelanggan pada 10 November 2025 dan langsung viral di media sosial, meraih lebih dari 300.000 penayangan dalam waktu singkat.
Dalam pengumuman tersebut, restoran mewajibkan pengunjung yang datang seorang diri untuk memesan minimal dua porsi makanan atau “datang bersama pasangan, rekan, atau teman”.
Kebijakan ini membuat banyak warga merasa tersinggung. Warganet mempertanyakan alasan pemilik restoran, menyoroti anggapan bahwa makan sendirian identik dengan kesepian. Sebagian pengguna media sosial menilai aturan itu tidak sopan, bahkan diskriminatif.
Fenomena serupa sebelumnya juga pernah terjadi. Pada akhir Juli 2025, seorang YouTuber perjalanan mengaku dipaksa meninggalkan sebuah restoran populer di Provinsi Jeolla Selatan meski ia sudah memesan dua porsi. Kasus-kasus ini memperkuat kritik publik bahwa sebagian restoran di Korea Selatan belum ramah terhadap pelanggan solo.
Padahal, tren makan sendiri (honbap) semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk yang tinggal sendiri. Di Seoul, jumlah rumah tangga lajang melonjak dari 29,5% pada 2015 menjadi 39,3% pada 2023. Survei terbaru menunjukkan lebih dari 42% warga Korea makan sendirian setidaknya sekali dalam sehari. Namun, normalisasi ini tidak serta-merta menghapus stigma.
Sekitar 70% restoran tradisional, terutama restoran BBQ, masih menerapkan aturan minimal dua orang. Banyak pelanggan tetap ditolak meski mereka bersedia membayar dua porsi. Survei Korea Research tahun 2025 menunjukkan 55% warga Korea berusia di bawah 30 tahun merasa malu atau dihakimi ketika makan sendirian di ruang publik, mencerminkan pandangan masyarakat bahwa makan adalah aktivitas komunal.
Psikolog sosial dari Universitas California Bella DePaulo, menyebut fenomena ini sebagai “singlisme”, yaitu prasangka dan diskriminasi terhadap orang yang tidak menikah atau hidup sendiri. Menurut para ahli, hal ini tidak hanya tampak dalam interaksi sosial, tetapi juga tercermin pada kebijakan negara yang dinilai lebih berpihak kepada pasangan menikah.
Profesor sosiologi dari Universitas Stanford, Gi-Wook Shin, menilai Korea Selatan perlu menangani isu tersebut secara sistematis. Ia menyoroti ketiadaan undang-undang antidiskriminasi yang komprehensif—sebagaimana dicatat dalam laporan HRW 2025, termasuk perlindungan hak perumahan serta jaminan hidup bagi warga yang memilih tinggal sendiri.
“Masyarakat perlu dididik melalui sekolah dan media untuk membangun budaya yang menghormati pilihan hidup sendiri,” ujar Shin.
“Langkah seperti ini tidak hanya mengurangi prasangka, tetapi juga membantu Korea menghadapi tantangan populasi menua,” katanya.