Notification

×

Iklan

Iklan

banner 728x90

Indeks Berita

Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Georgius Budi Yulianto menanggapi rencana pemerintah membangun rumah di atas tanah seluas 14 hingga 18 meter

Rabu, 18 Juni 2025 | Juni 18, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-17T19:21:09Z

 Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Georgius Budi Yulianto menanggapi rencana pemerintah membangun rumah di atas tanah seluas 14 hingga 18 meter persegi untuk sebuah keluarga kecil. Dia menilai langkah itu seperti merenggut martabat manusia.



Georgius menyebut ukuran yang diharapkan tersebut setara dengan satu ruang kelas kecil, atau separuh dari garasi sebuah rumah menengah. Dia tidak membayangkan sebuah ruang sekecil untuk digunakan tidur, memasak, menyimpan harapan, dan menata letih. 

"Di sana tidak ada tempat untuk menyendiri saat sedang sedih, tidak ada ruang untuk anak-anak bermain tanpa mengganggu, dan nyaris tidak ada jarak antara tubuh dan dinding," kata Georgius , Selasa (17/6/2025). Dia menyebut, arsitektur bukan sekadar menggambar denah dan membangun dinding tetapi seni memahami ruang hidup manusia. Seni untuk menyediakan ruang untuk bernapas, tumbuh, berbagi, dan melindungi diri.

"Ketika ruang dipersempit hingga manusia hanya mampu berdiri atau tidur tanpa gerak bebas, maka arsitektur kehilangan ruhnya. Rumah yang terlalu kecil bukan hanya kekurangan ruang, tetapi juga merenggut martabat," jelasnya.

Dia menilai dengan ruangan sesempit itu, arsitek tak sanggup memberi kehangatan, tak mampu menampung tangis atau tawa dengan layak. Penghuni yang tinggal di ruang sesempit itu tidak kekurangan semangat, hanya kekurangan kesempatan. 

"Kita tidak sedang bicara tentang kemewahan, tetapi tentang hak dasar untuk hidup layak. Tentang ruang yang memungkinkan ibu menyusui dengan tenang, anak belajar tanpa berdesakan, dan ayah pulang dari kerja tanpa merasa semakin terjepit," jelasnya. 

Dia menegaskan arsitek dapat merancang efisiensi, tetapi tidak boleh mengorbankan kemanusiaan. Dia menilai rumah sekecil bukan sekadar tempat berlindung dari hujan tetapi tempat manusia pulang, merasa utuh, dan bisa bermimpi.

"Jika arsitektur berhenti memperjuangkan itu, maka ia tak lebih dari sekadar pembangunan tanpa jiwa," pungkasnya.

×
Berita Terbaru Update